1. Titik Awal
A adalah seorang stand up comedian.
Di atas panggung ia selalu berhasil membuat ratusan orang tertawa, tapi begitu lampu mati, ia hanyalah pria dengan wajah di bawah rata-rata, dihantui rasa rendah diri.
Sejak orang tuanya meninggal dalam kecelakaan, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tak seorang pun bisa benar-benar mencintainya.
Namun, takdir berubah ketika ia bertemu seorang wanita sederhana yang justru jatuh cinta pada hatinya, bukan rupanya. Mereka menikah, dan kebahagiaan itu terasa seperti mukjizat.
2. Musibah
Hari ketika istrinya melahirkan, seharusnya jadi hari paling indah.
Tapi darah membanjiri ruang bersalin. Istrinya meninggal setelah melahirkan seorang bayi perempuan: S.
A seketika hancur. Ia sempat berpikir untuk menyerah dan membiarkan dunia berjalan tanpanya.
Namun ketika ia melihat bayi mungil itu menggenggam jarinya, ia sadar: inilah alasan ia harus bertahan.
3. Tawa di Atas Luka
A kembali ke panggung. Ia terus melucu, menutupi kesedihan dengan humor.
Setiap tawa penonton bukan lagi sekadar pekerjaan, tapi senjata untuk menghidupi dan membahagiakan S.
Ia bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan, mengantar sekolah, lalu malamnya tampil hingga larut demi biaya hidup.
S tumbuh dalam kasih sayang yang penuh. Ia tahu betul ayahnya berjuang seorang diri.
Dan dalam dirinya tumbuh tekad: ia akan belajar keras, menjadi sukses, agar bisa membalas cinta ayahnya.
4. Lima Belas Tahun Kemudian
A kini dikenal luas. Ia bukan sekadar komedian, ia simbol ketulusan—komedi yang lahir dari luka tapi mengobati banyak hati.
S sudah remaja, pintar, rajin, selalu membanggakan ayahnya. Hidup mereka meski sederhana, terasa sempurna.
Namun pada puncak kebahagiaan itu, takdir kembali mencuri segalanya.
Dalam perjalanan pulang dari sebuah pertunjukan besar, A mengalami kecelakaan mobil.
Ia meninggal di tempat.
5. Dunia Tanpa Warna
Di pemakaman, S berdiri di depan pusara ayahnya, hujan mengguyur deras.
Air matanya pecah bersama kata-kata yang tak bisa ia tahan:
"Kalau begini, untuk apa aku belajar? Untuk apa aku berjuang? Aku ingin membalas kasih sayangmu… tapi kau meninggalkan aku sendirian. Apa gunanya semua ini, Ayah?"
Sejak hari itu, S kehilangan arah. Semua motivasi yang dulu membakar dirinya padam seketika.
6. Kehancuran
S mencoba bertahan. Tapi tanpa sosok yang menjadi pusat hidupnya, ia mulai runtuh.
-
Ia berhenti belajar.
-
Teman-temannya menjauh karena ia murung dan dingin.
-
Malam-malamnya diisi dengan tatapan kosong ke foto ayahnya.
Saat remaja lain bermimpi jadi dokter, ilmuwan, atau seniman, S hanya tenggelam dalam pertanyaan: “Untuk siapa aku hidup?”
Perlahan, ia mulai menyakiti dirinya sendiri. Setiap luka kecil di pergelangan tangannya adalah protes sunyi.
Setiap tetes darah adalah bisikan: “Ayah, tunggu aku.”
7. Epilog
Suatu malam, tepat di ulang tahun ke-16, S duduk di kamar gelap. Di hadapannya, surat terakhir yang ia tulis:
"Aku sudah belajar, aku sudah berusaha. Tapi semua sia-sia. Kau memberiku cinta, Ayah… tapi kau juga memberiku alasan untuk menderita. Tanpa kau, aku hanyalah tubuh kosong."
Ia pergi dengan cara yang kejam—tidak dengan tangisan, tapi dengan senyum kecil, seakan akhirnya bisa “menyusul” ayahnya.
Beberapa hari kemudian, berita tragis itu tersebar:
Putri tunggal komedian terkenal ditemukan bunuh diri.
Dan dunia yang dulu dipenuhi tawa oleh sang ayah kini hanya diingat dengan ironi pahit:
dua generasi yang hidup untuk cinta, tapi berakhir sebagai bahan tertawaan takdir.